Image


Yang Sering Disalahtafsirkan dari Pelukis Basoeki Abdullah

Oleh Eddy Soetriyono

Dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia, bila kita menyebut nama S. Sudjojono, Affandi, dan Hendra sebagai tokoh, maka adalah sudah layak dan sepantasnya nama Basoeki Abdullah disebut senapas. Meskipun bekerja dalam gaya yang berbeda, tingkat ketokohan mereka sama. Tapi kenyataannya, orang suka meremehkan Basoeki Abdullah (yang mengherankan, termasuk di pihak ini adalah para akademisi, kritikus, dan pengamat di bidang seni rupa yang konon tergolong cerdik cendikia). Ada di antara mereka yang menyebut pelukis istana berbagai negeri ini sebagai borjuis yang "kebarat-baratan". Padahal, mana ada pelukis Indonesia Modern yang tidak kebarat-baratan baik itu S. Sudjojono, Affandi, ataupun Hendra.

Maklumlah, apa mau dikata. Di era modern, Barat yang ketika itu menjajah ke mana-mana memang selalu memaksakan kehendak bahwa diri mereka adalah "kiblat", "pusat" dan satu-satunya tolok ukur. Karena itu, makna "modernisasi" di negeri-negeri terjajah, konteksnya tak lebih dan tak kurang adalah sebagai "pembaratan". Dalam situasi itu, jagat seni rupa Indonesia melahirkan seniman- seniman anak kandung zaman sebagai sebuah keniscayaan. Jadi, di era itu, bukan hanya Basoeki Abdullah seorang yang "kebarat-baratan", melainkan juga Affandi, Hendra, dan S. Sudjojono.

Sebagai catatan (bukan sebagai penistaan), tokoh yang terakhir disebut dan digelari sebagai "Bapak Pelukis Modern Indonesia" ini pernah dengan lantang dan berapi-api penuh nada agitasi menuduh Basoeki Abdullah juga lembaga pendidikan Seni Rupa ITB (Insititut Teknologi Bandung) sebagai anteknya Barat dan "laboratorium Barat"-tanpa mau berkaca agar bisa melihat "gitok". nya (kuduknya) sendiri yang juga berbulu pirang dengan keringat bau keju. Intinya, bila kita ikut-ikutan menuduh Basoeki Abdullah kebarat-baratan, tanpa menudingkan dakwaan yang sama kepada S. Sudjojono, Affandi dan Hendra, maka kita telah berbuat "sangat tidak layak dan sangat tidak sepantasnya".

Sekarang ini, era Modern telah berlalu. Zaman berubah. Setelah negara-negara yang dijajah Barat-termasuk Indonesia-menjadi merdeka. Zaman tatkala kolonialisme telah ramai-ramai diperangi sehingga dengan begitu, Barat tidak dipandang lagi sebagai satu-satunya pusat dan negara-negara terjajah yang telah merdeka itu mulai menunjukkan bagian lain dari jati-diri mereka. Ketika itulah muncul era yang kemudian kita namai sebagai era post-modernism, atau post-kolonial, ataupun era kontemporer.

Karena itu, kini kita bisa menengok kembali fenomena Basoeki Abdullah dengan jernih dan tenang. Dan dari sini, kita bisa mendudukkan kembali Basoeki secara kontekstual, di tempat yang layak dan sepantasnya. Dan, mari kita tidak lagi merendahkannya serta menistakannya dengan memberi embel-embel "kebarat- baratan". Kalau kita tetap berbuat begitu, berarti ada yang salah dalam cara berpikir kita, dan hal ini juga menyiratkan betapa picik-suricik (sangat picik [ed] nian benak kita.

Satu hal lagi yang perlu kita timbang dan renungkan, bisakah seorang pemeluk agama Katolik Roma yang "sungguh kebarat-baratan", mampu melahirkan lukisan Bunda Maria dalam pakaian "kebaya" dan "sinjang batik parangrusak, terbang melayang di atas Gunung Merapi, lengkap dengan hamparan sawah serta nyiur melambai dari "tanah air aman dan makmur dengan pulau-pulau kelapa nan amat subur"? Silakan melihatnya di Museum Nijmegen di Negeri Belanda.

Salah tafsir juga terjadi ketika mereka yang mengaku akademisi, kritikus, ataupun pengamat itu menyebutkan prestasi Basoeki Abdullah sebagai "pelukis potret Di kalangan seni rupa, orang yang pertama kali berani menyanggah hal ini adalah Affandi. Menurut Affandi, sebagaimana dituturkan salah seorang kolektor besarnya, John Mamesah. Basoeki sama sekali bukan pelukis potret. Lukisan para tokoh wanita yang dilukisnya bukanlah "potret". Sebab, Basoeki tak pernah bisa melukis sosok manusia sebagaimana adanya. Tetapi, selalu "lebih indah dan lebih cantik ketimbang aslinya". Yang dihasilkannya bukanlah potret hasil jepretan sebuah lensa kamera ketika menangkap figur manusia.

Untuk meresapi hal ini, lihatlah lukisannya tentang Imelda Marcos dari Filipina, Ratu Sirikit dari Thailand, ataupun Ratna Sari Dewi atau Naoko Nemoto dari Jepang yang disebutnya sebagai "tiga cahaya dari Timur". Mereka tampak lebih muda dan lebih halus cemerlang kulitnya, sehingga tampak lebih cantik, lebih ideal ketimbang "asli"-nya. Juga, tataplah lukisan mengenai Ibu Tien Soeharto- yang tetap kita kenali sebagai sosok Ibu Tien, tapi tampil jauh lebih cantik, lebih indah, lebih cemerlang, dan lebih sumringah ketimbang jepretan lensa kamera.

Basoeki Abdullah juga menggunakan kecantikan, kehalusan, serta kelembutan, untuk menguatkan tampilnya ke-macho-an yang cenderung melahirkan kekerasan, Juga, untuk menggarisbawahi dengan pisau silet keganasan, kebrutalan, dan kekejaman perang. Atau untuk menampilkannya sebagai metafor guna lebih menguatkan pesan kemanusiaan. Sebagai misal, tataplah lukisan Bunda Theresa dengan wajah penuh kerut-merut dimakan usia sedang membopong bocah cantik dari kasta "paria" di Kaikuta. Keelokan kanak-kanak yang tergolong kelas "the untouchable" itu menimbulkan "kontras" tajam di mata kita, sehingga rasa keadilan kita seperti kena setrum dan menggemakan tanya, mengapa bocah cantik polos itu mesti sengaja disisihkan dan dibiarkan hidup melarai serta merana lantaran hanya karena dia lahir sebagai kasta paria?

Memanfaatkan strategi kontras ini juga dia terapkan ketika melukiskan wajah bocah jelita yang seolah menyembulkan muka dari balik tembok sebuah camp pengungsian sembari menatap kosong kekejaman perang di jauh sana. Tambahan pula, banyak di antara sosok-sosok "realistis" karya Basoeki Abdullah ditampilkan dalam latar belakang yang "kontras", yakni berupa sapuan dan sabetan warna gaya "abstrak ekspresionis" yang ekspresinya mampu menggambarkan suasana batin "pokok dan tokoh".

Bahkan menyadari kekuatannya tersebut, Basoeki pernah membuat lukisan yang sama sekali "abstrak ekspresionis" hanya mengandalkan pada kekuatan komposisi warna serta berbagai kualitas sabetan kuas (brush stroke) secara otonom, lukisan tersebut diberinya judul "Padang Pasir dan Darah" Hingga sekarang lukisan tersebut menjadi koleksi Museum Cemara, di kawasan Menteng, Jakarta, milik penyair wanita yang juga ahli filsafat, Prof Dr Toeti Heraty Menurut saya, Museum Basoeki Abdullah perlu mereproduksi karya ini demi menampilkan segi atau sisi lain dari Basoeki Abdullah yang luput dari apresiasi.

Masih dalam koleksi Toeti Heraty, tokoh yang berjasa dalam mengangkat harkat perupa perempuan Indonesia yang sebelumnya sangat didominasi lelaki Basoeki Abdullah juga tidak sekadar me"motret" wajah Raden Ayu Oentarti Roosseno secara realis semata, melainkan juga ingin melukiskan sisi lain sang sosok, dalam hal ini sebagai pendamping hidup ahli "konstruksi" yang berjasa besar dalam pemugaran Candi Borubudur, Prof Dr Ir Roosseno. Karena itu, Basoeki mencoba sedikit mendeformasi sosok Oentarti "ala Constructivism Art". Dengan begitu, sekali lagi, Basoeki tidak semata-mata mengabadikan sisi wadag (fisik [ed.]) sang figur sebagaimana ditangkap lensa kamera, melainkan juga mengekspresikan sisi dunia-dalamnya.

Tak hanya soal "potret", bahkan soal "kecantikan" ataupun "kebagusan' pun dengan senang hati dia buang bila tema yang hendak dilukisnya tidak menuntut metafor semacam itu. Untuk itu, mari kita saksikan lukisannya yang menggelar sosok kuli tua-renta yang masih harus terbungkuk-bungkuk membudakkan dirinya karena menanggung beratnya beban ekonomi kehidupan. Bukan realisme-potret dengan keindahan sekadar pemuas mata yang Basoeki tampilkan di sini, melainkan realisme-simbolis yang mampu mencengkam batin menekan peri kemanusiaan, dan mengusik nurani kita. Termasuk di sini adalah ketika Basoeki Abdullah melukis potret Affandi, lengkap dengan goresan lar serta warna kuning-hijau yang merupakan trade mark Affandi.

Agar ungkapan realismenya tidak terjatuh dalam klise ataupun "mannerism" ataupun pengulangan, Basoeki Abdullah memuluskan untuk mengembara ke berbagai negeri mencari metafor-metafor visual lainnya untuk bisa mengungkapkan segi humanisme dalam kehidupan beragam manusia dan berbagai budaya. Dan untuk itu dia rela mengongkosi dirinya sendiri dengan menjadi pelukis berbagai istana dan berbagai tokoh orang berpunya yang malah menghormati dan menghargainya. Tidak seperti kebanyakan perupa yang mengaku idealis tapi mencari ongkos berkaryanya dengan "ngernis", sibuk mencari sponsorship ke berbagai perusahaan dan lembaga. Dan untuk menutupi jiwa peminta-mintanya agar tak terlihat oleh khalayak, mereka menyerang para pelukis seperti Basoeki Abdullah sebagai pelukis komersial, sebagai pelukisyang tidak memiliki idealism, atau malah memakinya sebagai "pelukis yang melacurkan seninya untuk uang".

Dari pengembaraannya itu, lahirlah karya-karya realismenya yang selalu kreatif dan segar, metafor-metafor baru, yang digalinya dari berbagai negeri, baik dari belahan Asia maupun belahan Eropa. Metafora kecantikan dengan kontras- kontrasnya, dengan beragam seginya. Sebagai misal, nikmatilah karya-karyanya tatkala Basoeki Abdullah tinggal di Spanyol, dan menggali kecantikan khas Spanyol sebagai metafor. Mulai dari lukisan tentang sebuah desa di Madrid. Hingga tentang kejelitaan wanitanya yang khas dan menampilkannya dalam latar belakang empat lelaki dengan tubuh atletis sangat macho (Wanita Spanyol Berlatar Empat Lelaki). Basoeki juga melukiskan kontras yang sama dalam pertarungan kejam mati-hidup seorang matador-manusia "macho" berpakaian cantik gemerlapan penuh hiasan-melawan banteng buas hitam yang marah haus darah. Juga adegan Salome muda yang cantik jelita tampil meletakkan kepala Santo Yohannes yang baru saja dipenggalnya di nampan emas.

 

  • Tulisan ini semula adalah makalah dalam seminar "100 Tahun Basoeki Abdullah", di Jakarta, September 2015.
  • Eddy Soetriyono adalah kurator seni rupa, pengamat sekaligus perancang perhiasan dan tekstil.